Pada fajar pertama
Di bulan ketiga
Ku temui Engkau
Doa-doaku berbaris
Menapaki tangga dunia
Menuju ke langit-Mu
Harap-harap cemas
Menantinya
Pada fajar pertama
Doaku turun lagi
Bersama irama hujan
Aku bingung kenapa doaku pulang
Aku tanya, kenapa sayang
Jawab-Mu lantang
Kata-Mu aku ini jalang
Terlalu lancang
Melangitkan doa
Dengan bibir mencela Dia
Aku menangis, mencela siapa?
Kembali aku bertanya
Pada seorang gadis yang kau buat menangis
Sebab kau cela keadaannya yang papa
Kau anggap dia peminta-minta
Kemaren lusa, dia mengadu
Kapan aku menghinannya
Aku berpura-pura lupa
Ia kau kata dia tak layak mencinta-Ku
Aku membisu,
Ternyata doanya lebih dulu sampai pada-Mu
Daripadaku
Kemudian tangisan pecah menjadi hujan
Aku mencela insan
Aku mencela Tuhan
Monday, February 29, 2016
Pada Fajar Pertama
Thursday, February 25, 2016
Sepotong Surat Untuk Wanita
kiranya
nona sudi membebaskan saya
simpuhku ini meminta merdeka
dari penjajahan cinta
yang nona cipta
sungguh nona...
badan ini tak lagi kuasa
terlalu berat beban rasa
yang yang harus di tanggung raga
jangan biarkan hamba binasa
karenanya
Biarkan kami lelaki ini merdeka. Bukan ditindas dengan dalih cinta. Ia memang lelaki mencintai anda kaum hawa, tapi para pria bukanlah budak yang harus anda kekang, anda perintah bahkan terkadang anda menginjak-injak harga diri kami. Anda bukan penjajahkan?
Beri kami kepercayaan, kami sudah tahu kemana kami akan pulang. Bukankah hati anda itu yang akan menjadi rumah kami paling nyaman? Bukan ketika kami memerlukan pelukan, saat letih dalam bekerja seharian, anda menjadi penguasa seolah anda yang kami butuhkan.
Lama- kelamaan kami para pria juga akan jenuh bila seperti itu terus, dalam agama kami, memang kaum anda teramat di agungkan, sebagai surga buat anak-anak kami. Tapi yang perlu anda renungkan adalah kami juga menjadi penghantar bagi anda untuk menggapai surga-Nya. Lewat pengabdian anda kepada kami, para suami.
Wednesday, February 24, 2016
Untuk Cinta Yang Tak Kau Aminkan
...... bukan hal mudah memang
untuk mengetahui perasaanmu kepadaku
tapi setidaknya semua sudah aku ungkapkan
daripada aku berada pada ketidakpastian
begini aku lebih nyaman
untuk melangkah berjalan
bukan seperti sebuah sampan
yang terombang-ambing di lautan
terima kasih puan
pada tiap kejujuran
bahwa doaku tak mungkin engkau aminkan
kini biar hamba menuju tepian
biar rasaku tidak tenggelam
terlalu dalam
Tuesday, February 23, 2016
Ijinkan Rindu Memeluk Malam
apakah menjadi malam selalu seperti ini?
menyuguhkan kelembutan
namun selalu ditinggalkan
Pagi
kenapa engkau tak memberi kesempatan
biar rindu mendapat pengampunan
Monday, February 22, 2016
Senyummu Lebih Memabukkan
Engkau balas pagiku dengan kecup mesra, bahkan kecupmu mendahului embun yang memeluk daun. Aku belum mengenal jelas siapa kamu, yang aku tahu pelukanmu lebih menghangatkan daripada secangkir kopi yang biasa aku rasakan. "Siapa kamu?" tanyaku.
Engkau tersenyum, tak ada kata yang untuk membalas kata-kataku. Aku semakin bingung, pikiranku linglung. Aku mencoba berdiri tapi badanku terasa limbung. Kenapa lagi aku, apa semalam aku mabuk lagi?
Engkau kemudian berdiri menghampiriku setelah merapikan rambutmu di depan cermin yang biasa aku gunakan pula untuk bertanya tentang diriku. Engkau bilang aku mabuk. Tetapi bukan mabuk karena minuman yang memabukkan.
Ya, memang semenjak mengenalmu aku berjanji tak lagi meneguk alkohol. Tapi kenapa pagi ini aku merasakan mabuk yang sama. aku mulai menelaah kenapa aku seperti ini. Engkau masih tersenyum, dan tersenyum lagi. Semakin lama engkau tersenyum semakin merenggut kesadaranku, ternyata aku mengerti senyumanmu yang membuatku begini, memabukkanku bahkan separah ini dan akhirnya aku ambruk di pelukan yang teramat nyaman.