Friday, September 16, 2016

Hujan Pagi dan Embun Yang Ingin Pergi

Mengapa harus bersengketa untuk menunjukkan siapa yang lebih besar mencinta nona. Mengapa tak kita persatukan saja keduanya agar menjadi sesuatu yang hebat. Sampai kapan terus begini ? Aku berkata cintaku lebih besar dari yang kau punya, dan engkau bilang cintamu lebih besar dariku. Haruskah kita yang saling mencinta bertengkar untuk hal yang demikian. Terlalu sepele nona. Bukankah yang diuapkan embun dan yang dijatuhkan hujan adalah air?

Bukankah kita telah banyak belajar cinta?

Bukankah kita lahir dari dua insan yang saling mencinta. Tumbuh dengan limpahan cinta dari mereka. Bukankah kita telah belajar banyak hal tentang cinta dari kedua orang tua kita. Lalu mengapa engkau masih ragu untuk memulai membangun cinta denganku ? Memang jalan cinta kita mungkin akan berbeda dengan jalan yang dilalui orang tua kita. Namun bila kita tak mencoba melaluinya, kita tidak akan tahu jalan ini dimana ujungnya, mereka hanya mengajarkan dan menunjukkan caranya, dan kita yang menjalaninya.
Sudah siapkah kakimu melangkah bersamaku? Yakinlah, bahwa genggamanku tak akan melepasmu. Bila ada engkau terjatuh pada jalan yang akan kita lalui, sekuat tenaga aku akan memapahmu, menggendongmu sampai tiba pada tujuan. Bila aku yang terjatuh, cukup beri semangat aku untuk bangkit kembali, kita akan bahu-membahu, saling menopang hingga menemukan ujung cinta yang kita cari bersama, bahagia di akhir usia.

Jakarta, 16 September 2016

Monday, September 12, 2016

Pada Hangat Segelas Kopi

Adalah sebuah kebiasaan yang kudapati saat pagi
saat aku membuka mataku pertama kali
Selalu kutemukan senyumanmu menyambut pagiku
sembari kau sediakan segelas kopi Teramat manis semua yang kau lakukan
Kini setelah aku menjalani hidup sendiri
aku membiasakan menyeduh kopi seorang diri
sebagai ritual yang tak pernah aku tinggalkan dan sebagai mantranya
adalah namamu yang selalu berulangkali aku ucapkan
Barangkali kutemukan keajabaian bahwa engkau mendengarkan dan kembali
Namun bila dengan itu kau tak datang juga
setidaknya akan kudapati pengganti manisnga senyumanmu pada kopiku ini.
Meskipun tak sama.

Saturday, September 10, 2016

Ratih

Sebut namanya Ratih, meski rambutnya semakin memutih, namun penantiannya tak pernah mengenal kata letih. Meski umurnya semakin udzur namun cinta yang ia miliki tak kenal luntur. Meskipun ia disakiti, meskipun sekarang ia di tinggalkan, namun pada kenyataan ia masih memegang kesetiaan. Penantian.

Sudah berapa puluh musim berganti, bahkan ia sudah tak mampu menghitungnya lagi, lelaki yang ia cintai pergi meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi. Ia bahkan lupa, sebab terlalu lama, kini rindu yang di asuhnya kian menua seiring usianya yang makin renta.

Di gubuk tua menanti lelaki itu kembali. Mungkin sang waktu akan tega membiarkannya mati dengan memeluk cinta seorang diri.