Linda – gadis tomboy
berdarah Cina-Jawa, terlahir di kota Jogjakarta dan besar di Jakarta. Meski sekilas
terlihat jutek, sombong namun sebenarnya dia baik. Dia begitu care kepada
teman-temannya. Di usianya yang hampir berkepala tiga, ternyata masih ada
kekalutan dalam hatinya. Apalagi kalau bukan tentang jodoh. Kapan menikah,
terkadang itu menjadi pertanyaan yang lebih sulit untuk ia temukan jawabannya
daripada soal-soal Ujian Semester kuliahnya. Bukan tak ada pria yang mau
dengannya, namun hatinya masih tertaut pada cinta pertamanya, Andra yang
sekarang entah berada dimana. Kalau bukan tentang sebuah janji, tak mungkin
Linda menanti. Sewindu lamanya.
Aldo – cowok ganteng berbadan tegap, kulit putih berdarah
Manado . Badannya memang sangat atletis, perut sixpack membuat wanita yang
menatapnya terhipnotis. Tapi anehnya hatinya tak pernah tertarik sama makhluk
bernama wanita. Meskipun di depannya berdiri wanita paling cantik, tak
sedikitpun matanya melirik. Ah sepertinya dunia memang sudah terbalik.
Egy – pria berkulit sawo matang berdarah Bali. Mengadu nasib
di Ibukota, mencoba mengais rejeki dan melanjutkan study. Bisa dibilang pria
playboy. Entah sudah berapa banyak wanita yang dipacarinya, namun selalu saja
tak bertahan lama, kalaupun bertahan tiga bulan itu sudah luar biasa.
Natha – cowok unik berkacamata, berdarah jawa. Di otaknya
selalu di penuhi bahasa-bahasa sastra. Senyumnya manis, ditambah pula lesung
pipit yang selalu menghiasi sudut pipinya. Bagaimana wanita tak tergila-gila, sudah
pandai, manis, dan suka akan sastra pasti akan menjadi cowok romantis. Namun bagi
Natha, tujuan pertamanya di Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya. Ini membuat
sikapnya kadang terlihat dingin, cuek, bila ada gadis-gadis yang ingin mencoba
dekat denganya. Baginya jodoh akan datang tepat pada waktunya. Karena Tuhan
sudah merancangnya.
Riana, berdarah Betawi. Rambut hitamnya selalu terurai.
Hanya sekedar jepit rambut bermotif warna-warni yang menjadi hiasan kelapanya.
Bisa dibilang dialah gadis paling cantik di kampusnya. Bahkan banyak
cowok-cowok yang menyebutnya seperti Putri yang sedang terasingkan dari
negerinya, seperti dongen Cinderella yang diasingkan ibu dan saudara tirinya.
Bagi mereka berlima, persahabatan tak pernah mengenal perbedaan
agama, suku bahkan orientasi seksual seperti pada Aldo. Mereka sudah menjadi
seperti tubuh. Dimana ketika satu sahabatnya mendapat celaan atau hinaan, tersakiti
maka yang lain akan ikut merasakan jua. Mereka saling melengkapi. Bagaiamana Linda
yang sok jutek, tapi selalu care dengan sahabat-sahabatnya. Aldo pria yang
penuh dengan kelembutan hati. Egy yang selalu menjadi simbol kekuatan mereka,
pria paling tangguh bila dibanding dengan Aldo dan Natha. Sedang Natha sendiri,
sosok paling genius di antara mereka. Seumpama tubuh, Natha adalah otaknya. Dan
Riana, gadis cantik ini selalu tampil modis, dan humoris. Selalu menghadirkan
tawa di antara mereka. Inilah tentang mereka, tentang perjuangan dan
persahabatan, tanpa melihat pada perbedaan. Bagi mereka bumi yang dipijak
adalah sama, di bawah naungan atap yang sama pula. Langit Ibukota.
“Panas sekali hari ini,
capek gue harus bolak-balik antara Rawamangun dan Salemba” tutur Egy sambil
menyerobot minuman segar di tangan Aldo.
“ihhh Egy mah gitu, itu
minuman aku” Aldo tampak cemberut.
“ Cie..cie, jadi
sekarang ceweknya anak Salemba nih, cewek yang keberapa Gy”, ejek Riana.
“Baru PDKT, hahaha
makanya harus bela-belain anter jemput, biar dia melihat perjuangan gue,
hahaha, kalau sudah jadian, ntar suruh berangkat sendiri, hahahaha,” Jawab Egy
sekenanya. Sifat Playboy tak pernah lepas darinya.
“ Egy, balikin minuman aku,” Aldo yang keliatan manja jelas
berbeda sekali dengan badannya yang tampak begitu kekar. Karena dia selalu
menjaga penampilannya. Fitness tak pernah absen setiap minggunya. Untuk menarik
cowok-cowok katanya.
“ Aihhh si manja ini
ya, sok-sokan pasang muka imut, nanti gue ganti, apa mau dianter ke warung,
sini pangeran gendong”. Jawab Egy. Dia tak pernah malu mengantar Aldo kemana
saja. Meski terkadang banyak orang-orang melihat janggal pada mereka. Aldo yang
sedikit genit dan manja sebagai cowok, Egy yang jelas-jelas bertampang maskulin
dan playboy. Banyak orang menyangka bahkan ada yang pernah menghina Egy juga
pecinta sesama jenis pula. Pernah Aldo meminta Egy agak menjauh darinya. Namun
bagi Egy, biarlah orang berbicara seperti apa. Tapi yang tau cerita sebenarnya
hanya mereka.
“Mana Linda dan Natha,
kok kagak ngumpul sama kalian?” Tanya Egy.
“Ituuuuu di
perpustakaan, tau sendirikan buka tak pernah lepas dari tangan Natha. Sudah
kehabisan bacaan katanya. Makanya mau minjem lagi”. Jawab Aldo dengan bibir di
monyong-monyongin. Berbeda sekali ketika dia berjalan sendiri. Dia keliatan
maskulin, namun ketika sudah berkumpul sama sahabat-sahabatnya ini, nampak
sekali sifatnya yang feminim.
“ Aihh gak ngebul apa
tuh otak, seminggu satu buku dengan tebal ratusan halaman, lama-lama cepat
nanti cepat beruban, hahahaha”. Gelegar tawa Egy.
“ Emang lo gy, katanya
ke Jakarta, otaknya cuma pacaran mlulu, kasian noh orang tua kamu, dia kan
ingin kamu kuliah bener”. Jawab Riana.
“Siap tuan putri, untuk
saat ini pangeran masih sibuk mengejar cinta, nanti kalau ujian, saya akan
rajin belajar, serahkan semua pada Natha, hahahaha.” Tukas Egy.
“ Dasar ini anak,”
Riana menjawab dan kemudian mereka bertiga tertawa bersama-sama.
Linda dan Natha keluar dari perpustakaan. Tiga buku sekaligus yang digendong di
tangannya. Sedang Linda sibuk membalas beberapa chat dihpnya. Meskipun begitu
mereka berdua tetap ngobrol. Gadget bukan prioritas bagi mereka ketika bersama.
Bahkan ketika sedang bersama-sama. Mereka akan menyembunyikan hp di tas mereka.
Kebersamaan seperti itu yang kelak akan mereka rindukan. Ketika mereka sudah
tak bisa berkumpul bersama sebagai anak kuliahan. Sibuk dengan pekerjaan. Tapi itu
adalah masa depan. Tak ada manusia yang tahu akan rancangan Tuhan.
“Nat, kapan-kapan
temenin aku ke Bandung yuk, aku mau tau keberadaan Andra”. Linda menarik lengan
Natha.
“ Apaan sih Lin, sudah
delapan tahun dia meninggalkanmu. Lagian apa kamu tahu tempatnya Andra. Linda
sudah lupakan, sekarang fokus tatap masa depan, Usia kamu sudah di atas kami
semua, mau sampai kapan?”
“ Tapi nat, kita berdua
pernah berjanji, akan menua bersama. Kamu gak tau nat, dialah sosok pria yang
selalu aku hadirkan dalam doa-doaku di Gereja. Bukan padanya saja. Bahkan aku
sudah berjanji pada Tuhan. Akan setia padanya, menanti kehadirannya. Membawaku ka
altar suci, dan kami akan mengikrarkan janji sehidup semati”.
“Sudah Lin, aku mau ke
mushola dulu ya, kamu mau menantiku atau bergabung sama anak-anak duluan di
kantin. Aku sudah capek Lin merubah pola pikirmu. Nanti libur semester saja,
kita bersama-sama ke Bandung. Tapi kita akan mencari kemana? Langit ini begitu
luas Linda, di Bumi mana kakinya berdiri, apakah kau tau?” Nanti aku yang
memikirkan cara bicara kepada anak-anak. Jangan bilang kamu mencari Andra.
Pasti mereka takkan pernah suka. Bilang saja kita berlibur.”
“ Iya Nat, thanks. Kamu
memang paling dewasa diantara kita, ayuk aku antar ke mushola. Aku tunggu di
luar nanti.
Keduanya berjalan menapaki lorong
kampus menuju mushola. Kaki-kaki tangga setia menjadi pijakan mereka. Begitu
setianya Linda menunggui Natha yang sedang menjalankan sholat di Mushola. Begitupun
sebaliknya ketika Aldo dan Linda ke Gereja, tak jarang Egy, Natha, dan Riana
mengantarkan mereka, menunggui depan gereja tanpa rasa bosan. Sudah satu tahun
lamanya mereka seperti itu. Hanya Egy, yang jarang mengunjungi tempat
beribadah. Karena katanya susah menemukan Pura di Jakarta. Tapi mereka janji
suatu saat akan bersama-sama mengantarkan Egy. Belum tahu waktunya, Cuma mereka
akan menyisihkan sebagian uang saku mereka Mereka akan mengunjungi rumah Egy di
Bali. Sekalian untuk berlibur dan menepati janji. Sungguh sebuah persahabatan
yang mungkin akan terlihat janggal bagi sebagian orang. Namun mereka
menjalaninya dengan ketulusan hati.