Wednesday, August 5, 2015

Surau Penghadir Rindu

            Al-iman begitulah nama surau itu, surau kecil di tengah kampungku. Desa mungil di kaki lawu. Aku tak tahu betul kapan surau itu ada namun, sejak berumur lima tahun sepertinya kaki mungilku sudah menapakinya. Iya bersama dengan kakakku tercinta. Belajar mengaji bila maghrib telah usai dan akan beranjak pulang ketika isya telah ditunaikan.
            Bukan tentang masjid mewah, mungkin hanya surau yang jauh dari kata megah. Begitulah. Bukan keramik, marmer ataupun batu pualam, hanya sebuah ubin yang sudah kusam. Namun sepertinya surau kami ramai di kunjungi, berbeda seperti sekarang sepi. Entah. Apa mungkin karena bangunan yang berganti, atau keadaan hati manusia yang semakin mati. Seiring kemajuan jaman. Ironi. Dimana surau kecil berubah jadi masjid mewah, namun justru iman penduduknya makin melemah. Biarlah. Bukan hakku menyalahkan mereka, karena aku sendiripun mulai jauh darinya.
            Ketika aku menapaki lantainya yang telah berumah menjadi keramik, bayang-bayang diri kecil masih mengulik. Jelas kuingat bagaimana barisan anak-anak yang mengantri belajar mengaji. Semangat mereka. Bagaiamana Ahmadi, usianya belum genap lima, namun suaranya bila mengaji, menggema memenuhi setiap sudut ruang surau kami. Hambali, menginjak usianya yang ke delapan, namun otaknya sudah penuh dengan hafalan Al-qur-an. Fatimah, gadis yatim tak berayah, namun sosoknya kadang membuat kami terperangah, bagaimana tidak. Usianya sepuluh tahun, namun semangat mengajinya yang tekun. Bila siang hari berangkat sekolah menjinjing kerangjang, berisi kue dan gorengan bukan sekedar menambah penghasilan. Rutinitas seperti itu seperti menjadi pekerjaan untuk agar kebutuhan ibunya tak berkekurangan. Anak sekarang ? Jangan di bandingkan.
            Sepertinya butiran mutiara tiba-tiba jatuh dari sudut kelopak mata. “Ramdani, kemana engkau selama ini?” Sepertinya dinding surameu itu memanggil-manggil namaku. “ Kenapa engkau melupakan aku, apa kemegahan kota menjadikanmu terlena? Sepertinya lantai surau itu bertanya. “ Tuhan rindu padamu Ramdani, rindu akan suara alunan adzanmu yang merdu. Kemana semua itu?
            Hanya diam, dalam sujudku ada air mata yang tak bisa aku tahan. Sadar betul betapa diriku telah jauh dari Tuhan. Larut dalam dunia yang melenakan. Bukankah manusiawi? Bila hidup senang, Tuhan dilupakan? Bila di rundung masalah pelik, Tuhan di salahkan? Ah jahanam kau manusia jalang. Aku menghardik diriku sendiri.
            “ Sekarang aku kembali Al-Iman, meski tak ada lagi kaki mungil seperti dulu, sosok Ramdani menjelma menjadi pria garang penuh tato di bahu. Masihkah kau mengenaliku? Sampaikan pada Tuhan, aku ingin dekat dengan-Nya. masihkah aku diterima. Al-Iman. Begitu bisikku lirih. Aku malu pada Tuhan. Bisakah engkau menyampaikan rasaku. Layakkah aku menerima ampunan. Sedangkan dosa-dosaku sudah seperti buih di lautan. Aku Bajingan.
            Biarlah berjuta mata-mata picik seakan menghardik. Begitulah manusia, seolah-olah mampu menjadi hakim bagi manusia lainnya. Ada yang bilang diriku tak patut kembali ke sini. Al-Iman, suara kecil yang membesarkan diriku dengan ilmu agama yang telah lama kulupakan. Namun bagi Tuhan, raja dari semesta alam, Dialah yang berhak akan segala ampunan. Meski dosa manusia sebesar Gunung Lawu yang ada di kotaku, di tambah dengan tingginya Gunung Semeru yang nampak membiru. Sang pendosa berhak akan ampunan.

            Al-Iman terima kasih kau tak mengusirku. Entah udara apa yang engkau ramu dalam ruang, sehingga suasana di bawah atapmu sepertinya begitu tenang. Surau kecil penghadir rindu.

No comments:

Post a Comment