Al-iman begitulah nama surau itu, surau kecil di tengah
kampungku. Desa mungil di kaki lawu. Aku tak tahu betul kapan surau itu ada
namun, sejak berumur lima tahun sepertinya kaki mungilku sudah menapakinya. Iya
bersama dengan kakakku tercinta. Belajar mengaji bila maghrib telah usai dan
akan beranjak pulang ketika isya telah ditunaikan.
Bukan tentang masjid mewah, mungkin hanya surau yang jauh
dari kata megah. Begitulah. Bukan keramik, marmer ataupun batu pualam, hanya
sebuah ubin yang sudah kusam. Namun sepertinya surau kami ramai di kunjungi,
berbeda seperti sekarang sepi. Entah. Apa mungkin karena bangunan yang
berganti, atau keadaan hati manusia yang semakin mati. Seiring kemajuan jaman. Ironi.
Dimana surau kecil berubah jadi masjid mewah, namun justru iman penduduknya
makin melemah. Biarlah. Bukan hakku menyalahkan mereka, karena aku sendiripun
mulai jauh darinya.
Ketika aku menapaki lantainya yang telah berumah menjadi
keramik, bayang-bayang diri kecil masih mengulik. Jelas kuingat bagaimana
barisan anak-anak yang mengantri belajar mengaji. Semangat mereka. Bagaiamana Ahmadi,
usianya belum genap lima, namun suaranya bila mengaji, menggema memenuhi setiap
sudut ruang surau kami. Hambali, menginjak usianya yang ke delapan, namun
otaknya sudah penuh dengan hafalan Al-qur-an. Fatimah, gadis yatim tak berayah,
namun sosoknya kadang membuat kami terperangah, bagaimana tidak. Usianya
sepuluh tahun, namun semangat mengajinya yang tekun. Bila siang hari berangkat
sekolah menjinjing kerangjang, berisi kue dan gorengan bukan sekedar menambah
penghasilan. Rutinitas seperti itu seperti menjadi pekerjaan untuk agar
kebutuhan ibunya tak berkekurangan. Anak sekarang ? Jangan di bandingkan.
Sepertinya butiran mutiara tiba-tiba jatuh dari sudut
kelopak mata. “Ramdani, kemana engkau selama ini?” Sepertinya dinding surameu
itu memanggil-manggil namaku. “ Kenapa engkau melupakan aku, apa kemegahan kota
menjadikanmu terlena? Sepertinya lantai surau itu bertanya. “ Tuhan rindu
padamu Ramdani, rindu akan suara alunan adzanmu yang merdu. Kemana semua itu?
Hanya diam, dalam sujudku ada air mata yang tak bisa aku
tahan. Sadar betul betapa diriku telah jauh dari Tuhan. Larut dalam dunia yang
melenakan. Bukankah manusiawi? Bila hidup senang, Tuhan dilupakan? Bila di
rundung masalah pelik, Tuhan di salahkan? Ah jahanam kau manusia jalang. Aku menghardik
diriku sendiri.
“ Sekarang aku kembali Al-Iman, meski tak ada lagi kaki
mungil seperti dulu, sosok Ramdani menjelma menjadi pria garang penuh tato di
bahu. Masihkah kau mengenaliku? Sampaikan pada Tuhan, aku ingin dekat
dengan-Nya. masihkah aku diterima. Al-Iman. Begitu bisikku lirih. Aku malu pada
Tuhan. Bisakah engkau menyampaikan rasaku. Layakkah aku menerima ampunan. Sedangkan
dosa-dosaku sudah seperti buih di lautan. Aku Bajingan.
Biarlah berjuta mata-mata picik seakan menghardik. Begitulah
manusia, seolah-olah mampu menjadi hakim bagi manusia lainnya. Ada yang bilang
diriku tak patut kembali ke sini. Al-Iman, suara kecil yang membesarkan diriku
dengan ilmu agama yang telah lama kulupakan. Namun bagi Tuhan, raja dari
semesta alam, Dialah yang berhak akan segala ampunan. Meski dosa manusia
sebesar Gunung Lawu yang ada di kotaku, di tambah dengan tingginya Gunung
Semeru yang nampak membiru. Sang pendosa berhak akan ampunan.
Al-Iman terima kasih kau tak mengusirku. Entah udara apa
yang engkau ramu dalam ruang, sehingga suasana di bawah atapmu sepertinya
begitu tenang. Surau kecil penghadir rindu.
No comments:
Post a Comment