Sunday, August 30, 2015

SKYLINE Part 1

Linda – gadis tomboy berdarah Cina-Jawa, terlahir di kota Jogjakarta dan besar di Jakarta. Meski sekilas terlihat jutek, sombong namun sebenarnya dia baik. Dia begitu care kepada teman-temannya. Di usianya yang hampir berkepala tiga, ternyata masih ada kekalutan dalam hatinya. Apalagi kalau bukan tentang jodoh. Kapan menikah, terkadang itu menjadi pertanyaan yang lebih sulit untuk ia temukan jawabannya daripada soal-soal Ujian Semester kuliahnya. Bukan tak ada pria yang mau dengannya, namun hatinya masih tertaut pada cinta pertamanya, Andra yang sekarang entah berada dimana. Kalau bukan tentang sebuah janji, tak mungkin Linda menanti. Sewindu lamanya.
            Aldo – cowok ganteng berbadan tegap, kulit putih berdarah Manado . Badannya memang sangat atletis, perut sixpack membuat wanita yang menatapnya terhipnotis. Tapi anehnya hatinya tak pernah tertarik sama makhluk bernama wanita. Meskipun di depannya berdiri wanita paling cantik, tak sedikitpun matanya melirik. Ah sepertinya dunia memang sudah terbalik.
            Egy – pria berkulit sawo matang berdarah Bali. Mengadu nasib di Ibukota, mencoba mengais rejeki dan melanjutkan study. Bisa dibilang pria playboy. Entah sudah berapa banyak wanita yang dipacarinya, namun selalu saja tak bertahan lama, kalaupun bertahan tiga bulan itu sudah luar biasa.
            Natha – cowok unik berkacamata, berdarah jawa. Di otaknya selalu di penuhi bahasa-bahasa sastra. Senyumnya manis, ditambah pula lesung pipit yang selalu menghiasi sudut pipinya. Bagaimana wanita tak tergila-gila, sudah pandai, manis, dan suka akan sastra pasti akan menjadi cowok romantis. Namun bagi Natha, tujuan pertamanya di Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya. Ini membuat sikapnya kadang terlihat dingin, cuek, bila ada gadis-gadis yang ingin mencoba dekat denganya. Baginya jodoh akan datang tepat pada waktunya. Karena Tuhan sudah merancangnya.
            Riana, berdarah Betawi. Rambut hitamnya selalu terurai. Hanya sekedar jepit rambut bermotif warna-warni yang menjadi hiasan kelapanya. Bisa dibilang dialah gadis paling cantik di kampusnya. Bahkan banyak cowok-cowok yang menyebutnya seperti Putri yang sedang terasingkan dari negerinya, seperti dongen Cinderella yang diasingkan ibu dan saudara tirinya.
            Bagi mereka berlima, persahabatan tak pernah mengenal perbedaan agama, suku bahkan orientasi seksual seperti pada Aldo. Mereka sudah menjadi seperti tubuh. Dimana ketika satu sahabatnya mendapat celaan atau hinaan, tersakiti maka yang lain akan ikut merasakan jua. Mereka saling melengkapi. Bagaiamana Linda yang sok jutek, tapi selalu care dengan sahabat-sahabatnya. Aldo pria yang penuh dengan kelembutan hati. Egy yang selalu menjadi simbol kekuatan mereka, pria paling tangguh bila dibanding dengan Aldo dan Natha. Sedang Natha sendiri, sosok paling genius di antara mereka. Seumpama tubuh, Natha adalah otaknya. Dan Riana, gadis cantik ini selalu tampil modis, dan humoris. Selalu menghadirkan tawa di antara mereka. Inilah tentang mereka, tentang perjuangan dan persahabatan, tanpa melihat pada perbedaan. Bagi mereka bumi yang dipijak adalah sama, di bawah naungan atap yang sama pula. Langit Ibukota.
“Panas sekali hari ini, capek gue harus bolak-balik antara Rawamangun dan Salemba” tutur Egy sambil menyerobot minuman segar di tangan Aldo.
“ihhh Egy mah gitu, itu minuman aku” Aldo tampak cemberut.
“ Cie..cie, jadi sekarang ceweknya anak Salemba nih, cewek yang keberapa Gy”, ejek Riana.
“Baru PDKT, hahaha makanya harus bela-belain anter jemput, biar dia melihat perjuangan gue, hahaha, kalau sudah jadian, ntar suruh berangkat sendiri, hahahaha,” Jawab Egy sekenanya. Sifat Playboy tak pernah lepas darinya.
“ Egy, balikin  minuman aku,” Aldo yang keliatan manja jelas berbeda sekali dengan badannya yang tampak begitu kekar. Karena dia selalu menjaga penampilannya. Fitness tak pernah absen setiap minggunya. Untuk menarik cowok-cowok katanya.
“ Aihhh si manja ini ya, sok-sokan pasang muka imut, nanti gue ganti, apa mau dianter ke warung, sini pangeran gendong”. Jawab Egy. Dia tak pernah malu mengantar Aldo kemana saja. Meski terkadang banyak orang-orang melihat janggal pada mereka. Aldo yang sedikit genit dan manja sebagai cowok, Egy yang jelas-jelas bertampang maskulin dan playboy. Banyak orang menyangka bahkan ada yang pernah menghina Egy juga pecinta sesama jenis pula. Pernah Aldo meminta Egy agak menjauh darinya. Namun bagi Egy, biarlah orang berbicara seperti apa. Tapi yang tau cerita sebenarnya hanya mereka.
“Mana Linda dan Natha, kok kagak ngumpul sama kalian?” Tanya Egy.
“Ituuuuu di perpustakaan, tau sendirikan buka tak pernah lepas dari tangan Natha. Sudah kehabisan bacaan katanya. Makanya mau minjem lagi”. Jawab Aldo dengan bibir di monyong-monyongin. Berbeda sekali ketika dia berjalan sendiri. Dia keliatan maskulin, namun ketika sudah berkumpul sama sahabat-sahabatnya ini, nampak sekali sifatnya yang feminim.
“ Aihh gak ngebul apa tuh otak, seminggu satu buku dengan tebal ratusan halaman, lama-lama cepat nanti cepat beruban, hahahaha”. Gelegar tawa Egy.
“ Emang lo gy, katanya ke Jakarta, otaknya cuma pacaran mlulu, kasian noh orang tua kamu, dia kan ingin kamu kuliah bener”. Jawab Riana.
“Siap tuan putri, untuk saat ini pangeran masih sibuk mengejar cinta, nanti kalau ujian, saya akan rajin belajar, serahkan semua pada Natha, hahahaha.” Tukas Egy.
“ Dasar ini anak,” Riana menjawab dan kemudian mereka bertiga tertawa bersama-sama.
            Linda dan Natha keluar dari perpustakaan.  Tiga buku sekaligus yang digendong di tangannya. Sedang Linda sibuk membalas beberapa chat dihpnya. Meskipun begitu mereka berdua tetap ngobrol. Gadget bukan prioritas bagi mereka ketika bersama. Bahkan ketika sedang bersama-sama. Mereka akan menyembunyikan hp di tas mereka. Kebersamaan seperti itu yang kelak akan mereka rindukan. Ketika mereka sudah tak bisa berkumpul bersama sebagai anak kuliahan. Sibuk dengan pekerjaan. Tapi itu adalah masa depan. Tak ada manusia yang tahu akan rancangan Tuhan.
“Nat, kapan-kapan temenin aku ke Bandung yuk, aku mau tau keberadaan Andra”. Linda menarik lengan Natha.
“ Apaan sih Lin, sudah delapan tahun dia meninggalkanmu. Lagian apa kamu tahu tempatnya Andra. Linda sudah lupakan, sekarang fokus tatap masa depan, Usia kamu sudah di atas kami semua, mau sampai kapan?”
“ Tapi nat, kita berdua pernah berjanji, akan menua bersama. Kamu gak tau nat, dialah sosok pria yang selalu aku hadirkan dalam doa-doaku di Gereja. Bukan padanya saja. Bahkan aku sudah berjanji pada Tuhan. Akan setia padanya, menanti kehadirannya. Membawaku ka altar suci, dan kami akan mengikrarkan janji sehidup semati”.
“Sudah Lin, aku mau ke mushola dulu ya, kamu mau menantiku atau bergabung sama anak-anak duluan di kantin. Aku sudah capek Lin merubah pola pikirmu. Nanti libur semester saja, kita bersama-sama ke Bandung. Tapi kita akan mencari kemana? Langit ini begitu luas Linda, di Bumi mana kakinya berdiri, apakah kau tau?” Nanti aku yang memikirkan cara bicara kepada anak-anak. Jangan bilang kamu mencari Andra. Pasti mereka takkan pernah suka. Bilang saja kita berlibur.”
“ Iya Nat, thanks. Kamu memang paling dewasa diantara kita, ayuk aku antar ke mushola. Aku tunggu di luar nanti.
            Keduanya berjalan menapaki lorong kampus menuju mushola. Kaki-kaki tangga setia menjadi pijakan mereka. Begitu setianya Linda menunggui Natha yang sedang menjalankan sholat di Mushola. Begitupun sebaliknya ketika Aldo dan Linda ke Gereja, tak jarang Egy, Natha, dan Riana mengantarkan mereka, menunggui depan gereja tanpa rasa bosan. Sudah satu tahun lamanya mereka seperti itu. Hanya Egy, yang jarang mengunjungi tempat beribadah. Karena katanya susah menemukan Pura di Jakarta. Tapi mereka janji suatu saat akan bersama-sama mengantarkan Egy. Belum tahu waktunya, Cuma mereka akan menyisihkan sebagian uang saku mereka Mereka akan mengunjungi rumah Egy di Bali. Sekalian untuk berlibur dan menepati janji. Sungguh sebuah persahabatan yang mungkin akan terlihat janggal bagi sebagian orang. Namun mereka menjalaninya dengan ketulusan hati.

No comments:

Post a Comment