Cinta pertama
Wajahnya tak
pernah terlupa
Mengusik
hari-hari
Dan terbawa ke
alam mimpi
Dialah pemuda bernama Andika, aku
mengenalnya bukan di kota Jakarta ini. Dia kakak kelasku sewaktu SMK di kota
Magetan dahulu. Namun karena dulu aku hidup di kota kecil. Bahkan bisa dibilang
aku terlahir sebagai anak kampung. Bagaimana pandangan orang-orang kampung
sewaktu itu. Untuk pacaran dengan wanita saya sudah menjadi bahan gunjingan
sebagian besar orang. Ada saja kata tetangga yang aku dengar saat temanku Eki
pacaran dengan Ririn.
Salah
satu celetuk tetanggaku,” cilik-cilik kok
wis pacaran, gedhe arep dadi opo.”[1]
Hal inilah yang terkadang membuat
aku tak nyaman dengan kehidupan desa. Kita baikpun jadi bahan gunjingan,
apalagi kalau kita ini bajingan. Tapi memang aku selalu merindukan kehidupan
desa, yang identik dengan gotong-royong masyarakatnya dan rasa kepedulian antar
sesama yang tak bisa aku dapatkan dari masyarakat kota yang hidup dengan
individualisme.
Kehidupan kota Jakarta yang identik
dengan kebebasan, menyeretku pada sebuah pergaulan yang bisa dibilang aku
penganut paham kebebasan. Aku yang terlahir suka akan teknologi, sudah mengenal
jejaring sosial dan chating. Mungkin berbeda dengan kebanyakan teman-temanku
saat itu. 2009 aku sudah mengenal facebook dan yahoo messenger. Dan lewat
jejaring sosial inilah aku dapat kontak Andika lagi.
Seperti mendapat sebuah jalan,
berawal dari perbincangan santai, bercanda mengingat masa-masa sekolah akhirnya
membuat aku dan Andika akrab. Dan akupun mengutarakan perasaanku padanya.
“Mas ada sesuatu hal privasi yang
ingin aku ceritakan,” begitu kataku.
Dan Andikapun
menjawab, “ sudah cerita saja gak usah sungkan begitu”.
“Isin ki mas,”
balasku.[2]
Dan dia mendesak diriku untuk cerita
sejujurnya. Dengan mengambil nafas dalam dalam, perlahan aku mengutarakan bahwa
aku penyuka sesama jenis. Sungguh tak ku sangka kalau dia memberikan respon
positif padaku. Dia mengatakan kalau cinta tidak mengenal suku, agama, usia
bahkan jenis kelamin. Perasaan cinta itu adalah hak setiap orang dan mereka
berhak memperjuangkannya.
Lantas
ketika aku mengutarakan bahwa pria yang aku cintainya itu adalah dirinya,
apakah dia marah atau membenciku? Ternyata tidak, dia bersikap biasa saja,
malah aku diajak main kerumahnya di daerah Jatibening. Dia ingin mendengar
ceritaku lebih banyak.
Awal februari 2010, aku sempatkan
main ke tempat dia. Sabtu sore itu aku terlalu bersemangat. Aku ingin
pekerjaanku hari itu cepat selesai. Jam 4 sore selepas kerja, aku langsung
mandi dan berangkat dari Cengkareng menuju Jatibening. Ya ingat betul aku
menaiki bus mayasari jurusan Bekasi, turun di pintu Tol Jatibening.
Tak menunggu lama dia datang
menjebutku dengan mobilnya APV. Dibukakannya pintu untukku dan segera bergegas
menuju rumahnya. Sampai dirumahnya, cuma ada kami berdua, ibunya tidak pulang.
Tidur di toko katanya.
Semakin
leluasa untuk kami berbagi cerita. Dan selepas makan malam, segera masuk ke
kamar dan nonton tv bersama.
Dan seperti ruang hampa
Diam tanpa ada sepatah kaya
Apakah ini yang dinamakan cinta
Ketika sang pecandunya berjumpa
Lantas sampai kapan kita membisu
Lirik matamu padaku
Sudah cukup membunuh segala rindu
Lantas dimana rencana yang tersusun sebelum
perjumpaan
Kenapa diam yang menghiasi pertemuan
“Kenapa diam saja, katanya mau
cerita?” tanyamu mengagetkan lamunanku. Namun aku masih saja membisu. Sudah tak
ada kata yang mampu aku utarakan. Biarlah tatapan yang akan menceritakan bahwa
aku mencintaimu. Tiba-tiba saja ciuman mendarat di bibirku. Dan malam itu
menjadi saksi percintaan yang semestinya tak pernah terjadi.
Malam sudah berlalu, ternyata
sepanjang malam aku tidur pulas di dadanya yang bidang. Sungguh begitu nyaman.
Seperti pengembara yang dilanda dahaga, aku sudah menemukan telaga. Segala rasa
yang tersimpan rapat dalam-dalam, hari ini telah tercurahkan. Meskipun berwujud
cinta terlarang. Biarlah.
Hari-hari yang kulalui kala itu
sungguh diluar dugaan. Meskipun hanya bertemu di akhir minggu. Namun cukuplah
mengobati segala rindu yang menggebu. Meski harus menempuh jarak Jakarta Barat
– Bekasi, namun takkan menghalangi aku menemui sang pujaan hati. Ya lebih
banyak aku menghabiskan malam minggu di tempat dia, karena di Jakarta aku
tinggal bersama kakakku. Jadi aku lebih suka bermain ke tempat dia. Di sana
kami bebas bercumbu rayu. Karena di setiap akhir minggu ibu dia jarang pulang
ke rumah. Menginap di toko. Ibunya memiliki toko bunga di daerah Kalibata.
Hanya sesekali saja aku mimpir ke tempat dia. Dan akupun akrab dengan ibunya.
Sedang kepada kakakku aku bilang main ke tempat teman SMK dulu. Dan tak ada
kecurigaan dari kakakku.
Semakin
bebaslah kisah cinta yang aku rajut dengan Andika.
Dan malam itu
Pertemuan insan yang dimabuk cinta
Bersama angin menderu rindu
Waktu mengijinkan bertemu
Bak mendapat restu sang alam
Rindu terkoyak hanya satu malam
No comments:
Post a Comment