Sunday, August 2, 2015

Redup Di Awal Senja Part 1

Cinta pertama
Wajahnya tak pernah terlupa
Mengusik hari-hari
Dan terbawa ke alam mimpi

            Dialah pemuda bernama Andika, aku mengenalnya bukan di kota Jakarta ini. Dia kakak kelasku sewaktu SMK di kota Magetan dahulu. Namun karena dulu aku hidup di kota kecil. Bahkan bisa dibilang aku terlahir sebagai anak kampung. Bagaimana pandangan orang-orang kampung sewaktu itu. Untuk pacaran dengan wanita saya sudah menjadi bahan gunjingan sebagian besar orang. Ada saja kata tetangga yang aku dengar saat temanku Eki pacaran dengan Ririn.
Salah satu celetuk tetanggaku,” cilik-cilik kok wis pacaran, gedhe arep dadi opo.”[1]
            Hal inilah yang terkadang membuat aku tak nyaman dengan kehidupan desa. Kita baikpun jadi bahan gunjingan, apalagi kalau kita ini bajingan. Tapi memang aku selalu merindukan kehidupan desa, yang identik dengan gotong-royong masyarakatnya dan rasa kepedulian antar sesama yang tak bisa aku dapatkan dari masyarakat kota yang hidup dengan individualisme.
            Kehidupan kota Jakarta yang identik dengan kebebasan, menyeretku pada sebuah pergaulan yang bisa dibilang aku penganut paham kebebasan. Aku yang terlahir suka akan teknologi, sudah mengenal jejaring sosial dan chating. Mungkin berbeda dengan kebanyakan teman-temanku saat itu. 2009 aku sudah mengenal facebook dan yahoo messenger. Dan lewat jejaring sosial inilah aku dapat kontak Andika lagi.
            Seperti mendapat sebuah jalan, berawal dari perbincangan santai, bercanda mengingat masa-masa sekolah akhirnya membuat aku dan Andika akrab. Dan akupun mengutarakan perasaanku padanya.
            “Mas ada sesuatu hal privasi yang ingin aku ceritakan,” begitu kataku.
Dan Andikapun menjawab, “ sudah cerita saja gak usah sungkan begitu”.
“Isin ki mas,” balasku.[2]
            Dan dia mendesak diriku untuk cerita sejujurnya. Dengan mengambil nafas dalam dalam, perlahan aku mengutarakan bahwa aku penyuka sesama jenis. Sungguh tak ku sangka kalau dia memberikan respon positif padaku. Dia mengatakan kalau cinta tidak mengenal suku, agama, usia bahkan jenis kelamin. Perasaan cinta itu adalah hak setiap orang dan mereka berhak memperjuangkannya.
            Lantas ketika aku mengutarakan bahwa pria yang aku cintainya itu adalah dirinya, apakah dia marah atau membenciku? Ternyata tidak, dia bersikap biasa saja, malah aku diajak main kerumahnya di daerah Jatibening. Dia ingin mendengar ceritaku lebih banyak.
            Awal februari 2010, aku sempatkan main ke tempat dia. Sabtu sore itu aku terlalu bersemangat. Aku ingin pekerjaanku hari itu cepat selesai. Jam 4 sore selepas kerja, aku langsung mandi dan berangkat dari Cengkareng menuju Jatibening. Ya ingat betul aku menaiki bus mayasari jurusan Bekasi, turun di pintu Tol Jatibening.
            Tak menunggu lama dia datang menjebutku dengan mobilnya APV. Dibukakannya pintu untukku dan segera bergegas menuju rumahnya. Sampai dirumahnya, cuma ada kami berdua, ibunya tidak pulang. Tidur di toko katanya.
Semakin leluasa untuk kami berbagi cerita. Dan selepas makan malam, segera masuk ke kamar dan nonton tv bersama.

Dan seperti ruang hampa
Diam tanpa ada sepatah kaya
Apakah ini yang dinamakan cinta
Ketika sang pecandunya berjumpa
Lantas sampai kapan kita membisu
Lirik matamu padaku
Sudah cukup membunuh segala rindu
Lantas dimana rencana yang tersusun sebelum perjumpaan
Kenapa diam yang menghiasi pertemuan

            “Kenapa diam saja, katanya mau cerita?” tanyamu mengagetkan lamunanku. Namun aku masih saja membisu. Sudah tak ada kata yang mampu aku utarakan. Biarlah tatapan yang akan menceritakan bahwa aku mencintaimu. Tiba-tiba saja ciuman mendarat di bibirku. Dan malam itu menjadi saksi percintaan yang semestinya tak pernah terjadi.
            Malam sudah berlalu, ternyata sepanjang malam aku tidur pulas di dadanya yang bidang. Sungguh begitu nyaman. Seperti pengembara yang dilanda dahaga, aku sudah menemukan telaga. Segala rasa yang tersimpan rapat dalam-dalam, hari ini telah tercurahkan. Meskipun berwujud cinta terlarang. Biarlah.
            Hari-hari yang kulalui kala itu sungguh diluar dugaan. Meskipun hanya bertemu di akhir minggu. Namun cukuplah mengobati segala rindu yang menggebu. Meski harus menempuh jarak Jakarta Barat – Bekasi, namun takkan menghalangi aku menemui sang pujaan hati. Ya lebih banyak aku menghabiskan malam minggu di tempat dia, karena di Jakarta aku tinggal bersama kakakku. Jadi aku lebih suka bermain ke tempat dia. Di sana kami bebas bercumbu rayu. Karena di setiap akhir minggu ibu dia jarang pulang ke rumah. Menginap di toko. Ibunya memiliki toko bunga di daerah Kalibata. Hanya sesekali saja aku mimpir ke tempat dia. Dan akupun akrab dengan ibunya. Sedang kepada kakakku aku bilang main ke tempat teman SMK dulu. Dan tak ada kecurigaan dari kakakku.
Semakin bebaslah kisah cinta yang aku rajut dengan Andika.

Dan malam itu
Pertemuan insan yang dimabuk cinta
Bersama angin menderu rindu
Waktu mengijinkan bertemu
Bak mendapat restu sang alam
Rindu terkoyak hanya satu malam



[1] “kecil-kecil kok sudah pacaran, besar mau jadi apa”.
[2] “malu mas”.

No comments:

Post a Comment